Google

Rabu, 04 Juni 2008

Hadi Susanto


Tak banyak yang mengenal nama ini: Hadi Susanto. Ia tak beredar di tanah air sejak awal milenium baru, hampir sepertiga dari umurnya yang baru 29 tahun. Apalagi untuk mendengar reputasinya sebagai salah seorang matematikawan muda yang sedang memahatkan nama di jajaran legenda pakar matematika dunia.


Bahkan para pembaca novel superlaris Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy pun tak akan menduga bahwa Hadi Susanto yang menulis kata pengantar menarik di novel itu adalah Hadi Susanto yang di umur 27 tahun meraih gelar doktor matematika dari Universiteit Twente, Belanda, dan kini mengajar di Nottingham, Inggris.

Lahir di sebuah desa kecil di kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Hadi mencecap pendidikan di SDN Kunir Lor 1, SMPN Kunir, dan SMAN 2 Lumajang. Saat di bangku SD, ia selalu terpilih sebagai wakil sekolah dalam lomba cerdas cermat di tingkat kabupaten. Tapi begitu bertanding nilainya hampir selalu nol. Saya selalu grogi melihat anak dari sekolah lain yang selalu tampak keren dan bergaya, katanya.

Kini dunia berbalik. Banyak yang grogi melihat prestasi mahasiswa terbaik ITB tahun 2000 yang juga aktif berkiprah di dunia sastra. It is impossible to be a mathematician without being a poet in soul ungkapnya mengutip Sofia Vasilyevna Kovalevskaya (1850-1891), matematikawan- cum-penyair Rusia perumus teorema Cauchy-Kovalevsky.
Saat dikontak harian ini sebagai calon tamu berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional, awalnya Hadi menolak. Saya membaca wawancara Koran Tempo dengan Pak Anies Baswedan (rektor Universitas Paramadina red) lewat kiriman e-mail seorang teman. Saya tak sebanding dengan Pak Anies untuk menjadi Tamu, katanya dengan suara lembut di ujung saluran telepon internasional.

Akhirnya, Kamis (15 Mei) lalu, calon ayah yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya pada Juli depan ini bersedia juga diwawancarai wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, setelah berkorespondensi lewat surat elektronik dalam beberapa kesempatan sebelumnya.

Mengapa menurut matematikawan muda yang 26 karya ilmiahnya sudah muncul di sejumlah jurnal internasional itu kebangkitan nasional tak akan terjadi jika hanya muncul dari perayaan yang timbul setahun sekali? Petikannya:


Anda menyelesaikan kuliah dalam tiga tahun dan terpilih sebagai Mahasiswa Terbaik ITB tahun 2000. Bagaimana ceritanya?
Sebetulnya masa kuliah saya hampir 4 tahun. Yang kuliah saja memang 3 tahun, tapi memasuki tahun keempat saya mendapat kesempatan mengunjungi Belanda selama 8 bulan untuk mengerjakan TA (tugas akhir red) di Universiteit Twente (UT). Begitu diwisuda, saya diumumkan terpilih sebagai penerima Ganesa Prize, Mahasiswa Berprestasi Utama ITB, dengan hadiah mengunjungi Belanda lagi selama 3 bulan. Oleh UT saya ditawari melanjutkan kuliah di sana. Maka mulai Agustus 2001 saya mengambil program kombinasi Msc/PhD untuk periode 4 tahun.

Tapi selesai PhD Anda tidak kembali ke Indonesia. Mengapa?
Selesai dari Twente saya melanjutkan studi postdoctoral di Massachussetts, Amerika Serikat. Saya mendapat visiting assistant professorship selama tiga tahun di University of Massachussetts (UMass), Amherst. Kewajiban saya mengajar dua kelas per semester selain tugas melakukan riset. Menjelang selesai di UMass, saya kirimkan sejumlah aplikasi ke universitas di Amerika Serikat dan Eropa. Akhirnya sejak Januari 2008 saya menjadi dosen di University of Nottingham, Inggris. Mengapa saya tidak segera kembali ke Indonesia, karena saya ingin memperdalam dulu bidang ini. Apalagi sekarang istri saya sudah di sini. Juli mendatang, insya Allah anak pertama kami lahir.


Anda terlihat begitu mudah meniti karir. Berpindah-pindah dari Belanda, Amerika Serikat, Inggris, sebagai doktor matematika padahal usia Anda belum lagi 30 tahun. Apakah semua ini memang semudah yang terlihat?
Tidak. Dua tahun pertama saya kuliah di ITB, kondisi saya sulit sekali. Saya tak bisa hidup hanya dari beasiswa, harus kerja juga. Uang kerja dan beasiswa yang saya dapatkan dibagi tiga: untuk kebutuhan saya di Bandung, keperluan orang tua di Lumajang, dan biaya kuliah adik. Tiap Sabtu-Minggu saya keliling hotel dan gedung resepsi di Bandung bermodal pakaian rapi. Tanpa tahu siapa yang punya hajat, saya masuk saja ke pesta orang-orang kaya, yang penting bisa makan. Pernah juga setelah libur lebaran, ketika kembali ke Bandung saya tak punya cukup uang untuk membeli karcis kereta ekonomi. Akhirnya saya naik kereta barang, duduk di lantai gerbong bersama sekitar 100-an orang. Perjalanan sekitar 12 jam itu berlangsung malam hari, dan tanpa lampu di gerbong saya. Gelap sekali. Mungkin kalau dituliskan bisa jadi Laskar Pelangi (judul novel karya Andrea Hirata red) versi Orang Jawa. (tertawa kecil). Itu beberapa contoh besar, kalau penderitaan lainnya banyak sekali.


Bagaimana Anda melewati masa-masa sulit itu untuk bersinar di ITB?
Berkat dukungan dan doa banyak orang. Ketika Dosen Kuliah Agama Islam saya, Ustad Asep Zaenal Ausof akan berangkat umroh, saya datangi dia dan minta didoakan khusus. Saat itu kehidupan saya sedang di bawah sekali. Usaha orang tua saya yang berjualan kain dan baju di pasar bangkrut total. Kami terjebak rentenir, sehingga harus jual sawah, dan akhirnya satu-satunya rumah yang kami punya persis menjelang saya lulus SMA. Begitu lulus SMA, saya sudah memutuskan untuk tidak kuliah. Tapi keluarga saya, terutama ibu, tidak setuju. Saya harus terus kuliah. Alhamdulillah saya lulus UMPTN dan diterima di ITB. Tapi untuk membayar uang masuk yang beberapa ratus ribu saja kami tak mampu, akhirnya saya putuskan lagi untuk tidak mendaftar. Tapi ibu saya berjuang terus sampai detik terakhir. Akhirnya ketika saya bisa berangkat ke Bandung, dalam hati saya cuma ada satu tekad untuk berhasil dan membahagiakan keluarga.


Apa yang menyebabkan Anda begitu tertarik untuk mendalami matematika?
Sejak SD saya suka mengamati bagaimana angka-angka bisa dimainkan dengan operasi-operasi yang saling berhubungan. Di SMP saya mulai menyadari bahwa dasar dari fenomena alam di sekitar kita bisa dirumuskan melalui matematika. Ketika sesuatu sudah dituliskan ke dalam persamaan dan rumus, sesuatu itu menjadi berada di tangan kita yang bisa kita main-mainkan. Tapi pencerahan saya yang sebenarnya terjadi di ITB ketika mengikuti ceramah agama yang disampaikan dosen astronomi Pak Mudji Raharto. Beliau salah seorang astronom yang sampai saat ini selalu menjadi rujukan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan. Ada satu bagian dari ceramahnya yang membuat saya terpana bahwa alam semesta ini juga bisa dirumuskan dalam formulasi matematika. Saat itu saya berkata dalam hati, Tuhan pasti ahli matematika! Sejak itu pula saya melihat dunia ini seperti tersusun dari angka-angka. Mungkin seperti film The Matrix.

Tetapi mengapa bagi sebagian besar siswa Indonesia, matematika jauh dari pengalaman yang menyenangkan seperti yang Anda alami?
Matematika menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mayoritas siswa Indonesia karena pesan dari matematika itu sering tidak sampai. Jika kita belajar matematika sebagai sebuah hapalan, maka matematika menjadi tidak seksi lagi. Mempelajarinya menjadi sesuatu yang memberatkan. Tapi jika kita tahu bahwa yang dipelajari itu adalah, dan tidak lebih dari, PERUMUMAN dari masalah sehari-hari yang sudah kita kenal, maka matematika akan menjadi sangat menyenangkan. Di Indonesia ada beberapa matematikawan yang menguasai betul bagaimana membuat matematika menjadi menarik, misalnya almarhum Profesor Andi Hakim Nasution yang dulu rutin mengisi kolom di harian Republika dan almarhum Profesor Ahmad Arifin dari ITB.

Anda dikenal juga punya minat yang besar dalam sastra. Misalnya dengan menulis kata pengantar novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang kini merupakan film terlaris di tanah air dari jumlah penonton. Puisi-puisi Anda muncul di banyak antologi bersama. Bagaimana relasi antara matematika dan sastra ini berkelindan dalam kehidupan Anda?
Sebetulnya saya kenal Ustad Abik (nama panggilan Habiburrahman El-Shirazy red) lewat internet. Saya waktu itu di Belanda, beliau di Mesir. Kami bertemu di pesantrenvirtual. com. Dari situ sering berdiskusi sastra. Menurut saya hubungan matematika dengan sastra sangat dekat. Untuk bisa menikmati keindahan matematika, tidak hanya diperlukan logika, tapi juga perasaan, seperti halnya seni. Einstein mengatakan, "Pure mathematics is, in its way, the poetry of logical ideas."

Jadi seorang matematikawan pada dasarnya seorang penyair?
Kurang lebih. Dan itu bukan cuma pendapat Einstein. Sofia Kovalevskaya, wanita pertama yang mendapat pendidikan formal PhD di Eropa yang terkenal dengan teorema Cauchy-Kovalevsky, juga seorang penyair. Dia bilang, It is impossible to be a mathematician without being a poet in soul. Karl Weierstrass, peletak dasar analisis matematika modern yang juga mentor Sofia, membenarkan ungkapan muridnya dan menambahkan, "It is true that a mathematician who is not also something of a poet will never be a perfect mathematician. " Kalau kita percaya dengan ucapan Wierstrass ini, maka saya paling tidak penggemar sastra, karena belum bisa disebut sastrawan (tertawa).

Contoh-contoh yang Anda sebut itu dalam konteks apresiasi, bukan? Bagaimana dalam konteks kreasi atau penciptaan karya sastra?
Saya kira contohnya juga banyak. Bahkan Hadiah Nobel di bidang sastra pun ada matematikawan yang memenangkannya. Tahun 1904, Hadiah Nobel untuk sastra diberikan kepada dramawan dan matematikawan spanyol José Echegaray. Tahun 1950, Nobel sastra juga diberikan kepada seorang matematikawan, Bertrand Russell. Dua orang ini disebut matematikawan karena mereka memang profesor matematika. Saya mendengar rumor bahwa pada 1999 seorang matematikawan, associate professor di University of New Mexico, Gallup, juga sempat dinominasikan sebagai kandidat penerima hadiah Nobel sastra.

Apakah relasi yang akrab antara matematika dan sastra itu juga terlihat di dunia Islam?
Ada, misalnya Omar Khayyam yang terkenal dengan Rubaiyyat-nya itu. Selain sebagai penyair, Omar Khayyam juga terkenal sebagai ahli matematika geometri yang mengkoreksi postulat Euclid. Dan saya kira tema-tema seperti ini harus sering diperbincangkan.

Mengapa?
Saya lihat dunia anak muda di Indonesia terlalu banyak dijejali dengan tayangan infotainment, seakan-akan menjadi artis adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar bisa sukses dan terkenal. Ditambah dengan program-program pencari bakat yang menawarkan ketenaran instan yang tanpa disadari sering kali menipu. Padahal dunia sains juga menawarkan gaya selebritisnya sendiri. Misalnya setelah buku Sylvia Nasar A Beautiful Mind terbit, publik jadi mengidolakan matematikawan John Nash Jr. (A Beautiful Mind sudah difilmkan dengan judul sama, dibintangi oleh aktor Russell Crowe sebagai John Nash Jr. -- red). Bahan-bahan seperti ini cukup banyak. Saya sendiri terinspirasi untuk menulis polemik antara Sylvia Nasar dengan Prof. Shing-Tung Yau, salah seorang jenius matematika saat ini yang juga aktif menulis puisi-puisi Cina. Konflik mereka sangat menarik di dunia matematika, tak kalah hebohnya dengan kisruh Maia-Dhani di televisi Indonesia (tertawa).

Seperti apa sih kalau selebritis matematika berseteru?
Konflik mereka dimulai ketika Nasar menulis artikel di The New Yorker yang menuduh Shing-Tung Yau hendak mencuri kredit atas usaha Grigori Perelman yang berhasil memecahkan satu dari Millenium Prize Problems, yang untuk satu solusi dari masing-masing problem berhadiah 1 juta dolar. Dari sini cerita yang menggemparkan dunia permatematikaan internasional ini bergulir. Kisah ini menurut saya menarik untuk dibaca anak-anak muda di Indonesia, selain buku-buku matematika populer yang ditulis oleh mendiang Prof. Hans Wospakrik. Intinya agar generasi muda kita tahu bahwa pengertian idola dan selebritis itu bukan hanya dari kalangan artis.

Jadi Anda mengharapkan ada semacam kebangkitan nasional, dari generasi muda khususnya, dalam memaknai masa depan?
Ketika kuliah di Bandung, saya melihat kebangkitan nasional itu hanya motto belaka bagi kawan-kawan yang berasal dari kalangan berada. Dan tidak mungkin perubahan besar yang diharapkan dari kebangkitan nasional itu akan muncul jika hanya dihasilkan oleh kesadaran yang muncul setahun sekali. Menurut saya kebangkitan nasional harus dilakukan setiap hari, yaitu bangkit untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak minimal orang-orang yang bisa saya jangkau dengan kedua tangan saya, dengan membuat mereka bermanfaat pula bagi orang-orang di sekitar mereka. Dengan saling menularkan kebangkitan seperti ini saya kira arti kebangkitan nasional itu baru menemukan maknanya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia matematika di Indonesia sekarang?
Profesor Achmad Arifin pernah bilang, Matematikawan, khususnya aljabar, Indonesia masih berada pada taraf memahami pekerjaan orang lain, belum pada tahap mengembangkan. Saya kira pendapat ini benar. Lihatlah bagaimana guru besar yang seharusnya menjadi ujung tombak dan tolok ukur kualitas penelitian justru seringkali minim kontribusinya di jurnal-jurnal internasional. Namun sebagai orang yang sejak lulus S1 sampai saat ini belum pernah tinggal di Indonesia, saya merasa tidak punya hak lebih untuk memberikan saran. Mesti begitu saya tahu pasti ada banyak dosen dan periset di Indonesia yang terus memegang idealismenya. Mereka orang-orang yang sangat militan di tengah segala keterbatasan dalam melakukan penelitian. Pemerintah dan media massa harus membantu mereka.

Ada kisah-kisah yang lucu sebagai dosen matematika di luar negeri?
Aksen bahasa Inggris di Nottingham ini kan berbeda dengan di Massachussetts, jadi saya harus beradaptasi lagi ketika mengajar. Nah, kadang-kadang begitu ada mahasiswa saya yang bertanya, saya masih belum menangkap inti pertanyaannya, jadi saya bilang, coba ulangi lagi? Eh, mereka bilang nggak jadi. Mungkin mereka pikir dosennya ini ngetes apakah apakah mereka yakin dengan pertanyaan sendiri atau tidak (tertawa)


0 komentar: