Google

Jumat, 04 Juli 2008

Hampir 90% wanita muda Indonesia perokok


Riset terbaru mengungkapkan 88,78% dari 3.040 pelajar SMP putri hingga mahasiswi (13-25 tahun) Indonesia merokok. Mereka mengonsumsi 1-10 batang dalam hidup mereka.


Bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang bertema Tobacco Free Youth tahun ini, Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) memublikasikan data terbaru riset perilaku remaja dan wanita di Jakarta dan Sumatra Barat (Sumbar).�

Riset tersebut dilakukan KuIS, The Tobacco Control Research Program of Southeast Asia Tobacco Alliance (SEATCA) dan Rockefeller Foundation. Riset melibatkan 3.040 responden perempuan berusia 13-25 tahun.

Sebanyak 50% responden tinggal di Jakarta dan sisanya tinggal di Kabupaten Pariaman dan Bukittinggi, Sumbar. Pengumpulan data dilakukan dari Oktober sampai Desember 2007.

Riset KuIS yang baru mencakup sebagian kecil wilayah Indonesia itu melaporkan sebanyak 7,18% dari remaja dan perempuan muda pernah merokok 11-100 batang. Bahkan 4,06% dari 3.040 remaja dan perempuan telah mengisap rokok lebih dari 100 batang.

Kenapa mereka merokok? Riset mengungkapkan sebanyak 54,59% remaja dan perempuan merokok dengan tujuan mengurangi ketegangan dan stres. Lainnya beralasan untuk bersantai 29,36%, merokok sebagaimana dilakukan pria 12,84%, pertemanan 2,29%, dan agar diterima dalam kelompok 0,92%.

Sebagian besar remaja putri melihat iklan rokok di televisi 92,86% dan poster 70,63%. Sebanyak 70% remaja dan perempuan juga mengaku melihat promosi rokok pada acara pentas musik, olahraga, dan kegiatan sosial. Sebanyak 10,22% wanita berusia 13-15 tahun dan 14,53% wanita berusia 16-15 tahun pernah ditawari sampel rokok gratis.

Perlu diketahui bahwa pengaruh rokok terhadap sistem reproduksi wanita bukan tidak ada. Wanita perokok memiliki risiko menjadi infertil (mandul) dan kemungkinan menopause lebih awal, bahkan sering terjadi akibat merokok wanita hamil di luar kandungan.

Wanita perokok juga sangat dimungkinkan terserang kanker mulut rahim, pendarahan tekanan darah tinggi, dan berisiko mendapatkan bayi lahir cacat. Risiko penyakit jantung pada wanita perokok lebih tinggi, terutama pada mereka yang menggunakan kontrasepsi oral.

Para orang tua sebenarnya turut memberikan andil dalam persoalan rokok ini. Hasil Susenas 2001 menyebutkan, minimal satu orang dalam setiap keluarga Indonesia merokok. Jika dipersentasekan, 57% penduduk Indonesia merokok.

Terpapar asap tembakau

Parahnya lagi, hampir seluruh perokok atau 91,8%, mereka juga merokok di rumah ketika seluruh anggota keluarganya berada di rumah. Jadi, diperkirakan 97 juta orang penduduk negeri ini secara rutin terpapar asap tembakau di rumah mereka, sebanyak 43 juta di antaranya adalah anak-anak.�

Survei yang dilakukan Universitas Padjadjaran (1978) melaporkan usia pertama kali merokok pada anak kala itu adalah 12 tahun.

Sebelas tahun kemudian, penelitian Universitas Airlangga (1989) melaporkan fakta baru bahwa angka 12 itu telah bergerak ke angka delapan tahun. Terbaru, penelitian yang dilakukan bersama antara Universitas Andalas, UGM, dan Universitas Padjajaran, usia anak pertama kali merokok telah menyentuh angka tujuh tahun.

Sebuah survei yang digelar tahun lalu menyebutkan 37,3% pelajar dilaporkan biasa merokok. Tiga dari sepuluh pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur di bawah 10 tahun.

Secara umum konsumsi rokok di Indonesia dalam 30 tahun terakhir meningkat tajam, yaitu dari 33 miliar batang per tahun pada 1970 menjadi 230 miliar batang pada 2006. Prevalensi merokok di kalangan orang dewasa meningkat 26,9% pada 1995, menjadi 35% pada 2004.

Berdasarkan hasil survei BPS, jumlah perokok pemula (5-9 tahun) meningkat 400% yakni dari 0,8% (2001) menjadi 1,8% (2004) dari keseluruhan anak usia 5-9 tahun. Dalam periode yang sama, terjadi pula peningkatan jumlah perokok usia 10-14 tahun sebesar 21%, yakni dari 9,5% menjadi 11,5% dari jumlah anak dalam rentang usia tersebut.

Peningkatan jumlah perokok juga terjadi pada kelompok usia 15-19 tahun, yakni dari 58,9% menjadi 63,9% dari jumlah anak dalam rentang usia itu.

Tingkat konsumsi rokok di Indonesia menempati urutan tertinggi kelima atau termasuk lima besar dunia. Propaganda dan iklan rokok dikemas sedemikian menarik. Secara global, industri tembakau seluruh dunia mengeluarkan lebih dari US$ 8 miliar setiap tahun untuk iklan dan pemberian sponsor sebagai ajang utama promosi.

"Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok," demikian tulis sebuah produsen rokok internasional sebagaimana dikutip jurnal WHO.

Sebetulnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2003 telah melarang pembagian produk contoh secara gratis. Namun fakta di lapangan, pembagian kupon diskon dan penjualan rokok batangan masih sering terjadi. Tentu ini memperbesar akses remaja dan anak terhadap rokok, apalagi hingga kini tak sedikit media cetak atau elektronik yang masih enggan mempromosikan pesan-pesan pengendalian tembakau karena khawatir akan kehilangan pendapatan dari iklan rokok.

Sulit ditangani

Masalah rokok yang terkait dengan kesehatan di Indonesia memang sulit ditangani. Salah satu penyebabnya karena hingga kini Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Selain itu, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur upaya perlindungan anak di bawah 18 tahun dari bahaya rokok. Bahkan dalam PP No. 23/2002 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, tidak ada satu pun pasal yang melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia.

Meskipun pemerintah telah mengesahkan UU Perlindungan Anak No. 23/2002, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai peraturan yang melarang anak-anak merokok. Pasal 59 UU Perlindungan Anak memang menegaskan kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari zat adiktif. Namun, dalam UU itu tidak ada peraturan rinci yang mengatur langkah-langkah perlindungan.

Tak hanya itu, RUU tentang Pengendalian Masalah Tembakau yang ditujukan untuk memberi perlindungan kepada kelompok rentan terutama generasi muda dari bahaya rokok pun hingga kini belum berhasil diundangkan, dengan gagalnya RUU tersebut masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2006 maupun 2007.�

Karena itu, perlu ada desakan kepada pemerintah dan parlemen untuk segera memproses RUU tersebut agar ada perlindungan kepada kelompok rentan dari jeratan adiksi nikotin, yang pada gilirannya akan menyelamatkan masa depan anak-anak kita yang merupakan generasi penerus bangsa ini.

Oleh Siti Nuryati
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB

0 komentar: